Lokasi : Lab Pengolahan Hasil Pertanian
Politeknik Pembangunan Pertanian Bogor
Selasa, 15 Januari 2019
Mengolah Limbah Air Kelapa menjadi nata de coco
NATA DE COCO
Pengertian Nata de Coco
Nata de coco merupakan produk hasil
proses fermentasi air kelapa dengan bantuan aktivitas Acetobacter xylinum. Nata
berasal dari bahasa spanyol yang artinya terapung. Ini sesuai dengan sifatnya
yaitu sejak diamati dari proses awal terbentuknya nata merupakan suatu lapisan
tipis yang terapung pada permukaan yang semakin lama akan semakin tebal. Nata
De Coco merupakan jenis komponen minuman yang terdiri dari senyawa selulosa
(dietry fiber), yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang
melibatkan jasad renik (mikrobia), yang selanjutnya dikenal sebagai bibit nata.
Semula industri nata de coco dimulai
dari adanya industri rumah tangga yang menggunakan sari buah nenas sebagai
bahan bakunya. Produk ini dikenal dengan nama nata de pina. Dikarenekan nenas
sifatnya musiman, pilihan itu jatuh kepada buah kelapa yang berbuah sepanjang
tahun dan dalam jumlah yang cukup besar serta ditemukan secara merata hamper
diseluruh pelosok tanah air. Di skala industri, nata de coco sudah dikenal
sejak diperkenalkannya pada tahun 1975. tetapi, sampai saat ini, industri nata
de coco masih tergolong sedikit (di Indonesia). Padahal jika melihat prospeknya
dimasa mendatang cukup enggiurkan. Akhir-akhir ini, Negara berkembang sedang
melirik industri nata de coco.
Pada prinsipnya untuk mengha-silkan
nata de coco yang bermutu baik, maka perlu disediakan media yang dapat
mendukung aktivitas Acetobacter xylinum untuk memproduksi selulosa ekstra
seluler atau yang kemudian di sebut nata de coco.
Bakteri Acetobacter xylinum akan
dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya
dengan Karbon(C) dan Nitrogen (N), melalui proses yang terkontrol. Dalam
kondisi demikian, bakteri tersebut akan menghasilkan enzim akstraseluler yang
dapat menyusun zat gula menjadi ribuan rantai serat atau selulosa. Dari jutaan
renik yang tumbuh pada air kelapa tersbeut, akan dihasilkan jutaan lembar
benang-benang selulosa yang akhirnya nampak padat berwarna putih hingga
transparan, yang disebut sebagai nata.
Nata yang dihasilkan tentunya bisa
beragam kualitasnya. Kualitas yang baik akan terpenuhi apabila air kelapa yang
digunakan memenuhi standar kualitas bahan nata, dan prosesnya dikendalikan
dengan cara yang benar berdasarkan pada factor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum yang digunakan. Apabila rasio
antara karbon dan nitrogen diatur secara optimal, dan prosesnya terkontrol
dengan baik, maka semua cairan akan berubah menjadi nata tanpa meninggalkan
residu sedikitpun. Oleh sebab itu, definisi nata yang terapung di atas caian
setelah proses fermentasi selesai, tidak berlaku lagi.
Air kelapa yang digunakan dalam
pembuatan nata harus berasal dari kelapa yang masak optimal, tidak terlalu tua
atau terlalu muda. Bahan tambahan yang diperlukan oleh bakteri antara lain
karbohidrat sederhana, sumber nitrogen, dan asam asetat. Pada ummumnya senyawa
karbohidrat sederhana dapat digunakan sebagai suplemen pembuatan anta de coco,
diantaranya adalah senyawa-senyawa maltosa, sukrosa, laktosa, fruktosa dan
manosa. Dari beberapa senyawa karbohidrat sederhana itu sukrosa merupakan
senyawa yang paling ekonomis digunakan dan paling baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan bibit nata. Adapun dari segi warna yang paling baik digunakan
adalah sukrosa putih. Sukrosa coklat akan mempengaruhi kenampakan nata sehingga
kurang menarik. Sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung
pertumbuhan aktivitas bakteri nata dapat berasal dari nitrogen organic, seperti
misalnya protein dan ekstrak yeast, maupun Nitrogen an organic seperti misalnya
ammonium fosfat, urea, dan ammonium slfat. Namun, sumber nitrogen anorganik
sangat murah dan fungsinya tidak kalah jika dibandingkan dengan sumber nitrogen
organic. Bahkan diantara sumber nitrogen anorganik ada yang mempunyai sifat
lebih yaitu ammonium sulfat. Kelebihan yang dimaksud adalah murah, mudah larut,
dan selektif bagi mikroorganisme lain.
Asam asetat atau asam cuka digunakan
untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa. Asam asetat yang
baik adalah asam asetat glacial (99,8%). Asam asetat dengan konsentrasi rendah
dapat digunakan, namun untuk mencapai tingkat keasaman yang diinginkan yaitu pH
4,5 – 5,5 dibutuhkan dalam jumlah banyak. Selain asan asetat, asam-asam organic
dan anorganik lain bias digunakan.
Acetobacter Xylinum merupakan
bakteri berbentuk batang pendek, yang mempunyai panjang 2 mikron dan lebar ,
micron, dengan permukaan dinding yang berlendir. Bakteri ini bias membentuk
rantai pendek dengan satuan 6-8 sel. Bersifat ninmotil dan dengan pewarnaan
Gram menunjukkan Gram negative.
Bakteri ini tidka membentuk
endospora maupun pigmen. Pada kultur sel yang masih muda, individu sel berada
sendiri-sendiri dan transparan. Koloni yang sudah tua membentuk lapisan
menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel koloninya. Pertumbuhan koloni pada
medium cair setelah 48 jam inokulasi akan membentuk lapisan pelikel dan dapat
dengan mudah diambil dengan jarum oase.
Bakteri ini dapat membentuk asam
dari glukosa, etil alcohol, dan propel alcohol, tidak membentuk indol dan
mempunyai kemampuan mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O. sifat yang
paling menonjol dari bakteri itu adalah memiliki kemampuan untuk
mempolimerisasi glukosa sehingga menjadi selulosa. Selanjutnya selulosa
tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata. Factor lain yang dominant
mempengaruhi sifat fisiologi dalam pembentukan nata adalah ketersediaan
nutrisi, derajat keasaman, temperature, dan ketersediaan oksigen.
Bakteri Acetobacter Xylinum
mengalami pertumbuhan sel. Pertumbuhan sel didefinisikan sebagai pertumbuhan
secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Bakteri Acetobacter Xylinum
mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan
awal, fase pertumbuhan eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan
tetap, fase menuju kematian, dan fase kematian.
Factor-faktor yang mempengaruhi
Acetobacter Xylinum mengalami pertumbuhan adalah nutrisi, sumber karbon, sumber
nitrogen, serta tingkat keasaman media temperature, dan udara (oksigen. Senyawa
karbon yang dibutuhkan dalam fermentasi nata berasal dari monosakarida dan
disakarida. Sumber dari karbon ini yang paling banyak digunakan adalah gula.
Sumber nitrogen bias berasal dari bahan organic seperti ZA, urea. Meskipun
bakteri Acetobacter Xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5 – 7,5, namun akan tumbuh
optimal bila pH nya 4,3. sedangkan suhu ideal bagi pertumbuhan bakteri
Acetobacter Xylinum pada suhu 28 – 31 0 C. bakteri ini sangat memerlukan
oksigen. Sehingga dalam fermentasi tidak perlu ditutup rapat namun hanya
ditutup untuk mencegah kotoran masuk kedalam media yang dapat mengakibatkan
kontaminasi.
Sejarah Pembuatan
Nata
Dalam sejarahnya, industri
pembuatan nata diawali di tingkat rumah tangga, yaitu dengan menggunakan sari
buah nanas sebagai bahan bakunya. Produk yang dihasilkan diberi nama nata de pina.
Oleh karena nanas bersifat musiman, industri pembuatan nata de pina tidak dapat
berlangsung sepanjang tahun. Untuk mengatasi hal tersebut, dicari alternatif
penggunaan bahan lain yang bisa tersedia dengan mudah sepanjang tahun dan murah
harganya. Pilihan tersebut kemudian jatuh pada air kelapa, yaitu limbah dari
industri pembuatan kopra atau minyak goreng. Nata yang dihasilkan dari air
kelapa disebut nata de
coco.
Di Indonesia, nata de coco
mulai dicoba pada tahun 1973 dan mulai diperkenalkan pada 1975. Produk ini
mulai dikenal luas di pasaran sejak tahun 1981. Dengan semakin digemarinya nata
de coco di Indonesia, mulailah bermunculan beberapa industri pengolah nata de
coco di Tanah Air. Selanjutnya nata de coco dapat dikembangkan sebagai salah
satu komoditas ekspor ke berbagai negara nontropis, seperti Jepang, Amerika
Serikat, dan negara-negara di Eropa. Permintaan nata de coco akan meningkat
tajam pada saat menjelang hari raya Natal, Lebaran, Tahun baru, dan
peristiwa-peristiwa penting lainnya
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi nata
Untuk menghasilkan produksi nata
yang maksimal perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut.
1.
Temperatur
ruang
inkubasi
Temperatur ruang inkubasi harus
diperhatikan karena berkaitan dengan pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pada umumnya suhu fermentasi untuk
pembuatan nata adalah pada suhu kamar (280C). Suhu yang terlalu rendah atau
terlalu tinggi akan mengganggu pertumbuhan bakteri pembentuk nata, yang
akhirnya juga menghambat produksi nata. (Budiyanto,
2004).
2. Jenis dan konsentrasi Medium
Medium fermentasi ini harus banyak
mengandung karbohidrat (gula) di samping vitamin dan mineral, karena pada
hakekatnya nata tersebut adalah slime (menyerupai lendir) dari sel bakteri yang
kaya selulosa yang diproduksi dari glukosa oleh bakteri Acetobacter Xylinum.
Bakteri ini dalam kondisi yang optimum memiliki kemampuan yang luar biasa untuk
memproduksi slime sehingga slime tersebut terlepas dari sel vegetatif bakteri
dan terapung-apung di permukaan medium. Pembentukan nata terjadi karena proses
pengambilan glukosa dari larutan gula yang kemudian digabungkan dengan asam
lemak membentuk precursor (penciri nata) pada membran sel. Prekursor ini
selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim mempolimerisasi
glukosa menjadi selulosa yang merupakan bahan dasar pembentukan slime. Kadar
karbohidrat optimum untuk berlangsungnya produksi nata adalah 10%. (Palungkun,
1992).
3. Jenis dan konsentrasi stater
Pada umumnya Acetobacter Xylinum
merupakan stater yang lebih produktif dari jenis stater lainnya, sedang
konsentrasi 5-10% merupakan konsentrasi yang ideal(Rahman, 1992).
4. Kebersihan alat
Alat-alat yang tidak steril dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum. Sedangkan alat-alat yang
steril dapat mendukung pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum.
5. Waktu fermentasi
Waktu fermentasi yang digunakan
dalam pembuatan nata umumnya 2-4 minggu. Minggu ke-4 dari waktu fermentasi
merupakan waktu yang maksimal produksi nata, yang berarti lebih dari 4 minggu,
maka kualitas nata yang diproduksi akan menurun.
6. pH fermentasi
Derajat keasaman yang dibutuhkan
dalam pembuatan nata adalah 3-5 atau dalam suasana asam. Pada kedua kondisi pH
optimum, aktifitas enzim seringkali menurun tajam. Suatu
perubahan kecil pada pH dapat menimbulkan perbedaan besar pada
kecepatan beberapa reaksi enzimatis yang amat penting bagi organisme.
7. Tempat fermentasi
Tempat fermentasi sebaiknya tidak terbuat dari logam karena
mudah korosif yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroorganisme pembentuk nata.
Di samping itu tempat fermentasi sebaiknya tidak terkena cahaya matahari
langsung, jauh dari sumber panas, dan harus berada dalam kondisi steril. Selain
itu, dalam pembuatan nata juga harus diperhatikan bahwa selama proses
pembentukan nata langsung harus dihindari gerakan atau goncangan ini akan
menenggelamkan lapisan nata yang telah terbentuk dan menyebabkan terbentuknya
lapisan nata yang baru yang terpisah dari nata yang pertama. Hal ini
menyebabkan ketebalan produksi nata tidak standar. (Budiyanto, 2004).
Kandungan Gizi Nata
Dilihat dari zat gizinya, nata tidak
berarti apa-apa karena produk ini sangat miskin zat gizi. Karena kandungan zat
gizi (khusunya energi) yang sangat rendah, produk ini aman untuk dimakan siapa
saja. Produk ini tidak akan menyebabkan kegemukan, sehingga sangat dianjurkan
bagi mereka yang sedang diet rendah kalori. Keunggulan lain dari produk ini
adalah kandungan seratnya yang cukup tinggi terutama selulosa. Peran utama
serat dalam makanan adalah pada kemampuannya mengikat air yang dapat melunakkan
feses.
Makanan dengan kandungan serat kasar
yang tinggi dapat mengurangi berat badan. Serat makanan akan tinggal
dalam saluran pencernaan dalam waktu yang relative singkat sehingga absorpsi
zat makanan berkurang. Selain itu, makanan yang mengandung serat yang relative
tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat kompleks yang
menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan.
Makanan dengan kandungan serat kasar relative tinggi biasanya mengandung kalori
rendah, kadar gula, dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi terjadinya
obesitas dan penyakit jantung.
Pengolahan Limbah Pangan menjadi Produk Pangan
Apa
itu limbah pangan?
Secara garis besar, limbah dapat dibedakan menjadi
tiga jenis, pertama limbah organik, terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan
dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan,
peternakan, rumah tangga, industri dll., yang secara alami mudah terurai (oleh
aktivitas mikroorganisme). Kedua, limbah anorganik, berasal dari umber daya alam tak terbarui seperti mineral
dan minyak bumi, atau hasil samping proses industri. Limbah anorganik tidak
mudah hancur/lapuk. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan bahkan tidak
dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam
waktu yang sangat lama. Ketiga, limbah bahan berbahaya dan beracun (B3),
merupakan sisa suatu usaha yang mengandung bahan berbahaya/beracun, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan dan embahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia, serta makhluk hidup lainnya. (http://www.sinarharapan.co.id)
Pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan cara
pengurangan sumber source reduction),
penggunaan kembali, pemanfaatan (recycling), pengolahan (treatment)
dan pembuangan. Banyak jenis limbah dapat dimanfaatkan kembali melalui daur
ulang atau dikonversikan ke produk lain yang berguna. Limbah yang dapat
dikonversikan ke produk lain, misalnya limbah dari industri pangan. Limbah tersebut
biasanya masih mengandung: serat, karbohidrat, protein, lemak, asam organik,
dan mineral, sehingga dapat mengalami perubahan secara s dan dapat dikonversikan
ke produk lain seperti: energi, pangan, pakan, dan lain-lain. (http://www.menlh.go.id).
Limbah industri menjadi salah satu bagian lingkungan
yang paling dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, apalagi limbah industri
rumah tangga yang secara umum belum dikelola dengan baik. Jika penanganan
limbah yang dihasilkan industri seperti industri rumah tangga tidak tepat, maka
limbah dapat menurunkan kualitas dari lingkungan sekitarnya dan akhirnya dapat
merugikan ekosistem. Oleh karena itulah maka pengelolaan limbah industri rumah
tangga menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan dan tidak bisa dihindari
oleh para pemilik dan pengelola industri. Pada dasarnya, limbah adalah bahan
yang terbuang atau dibuang dari hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang
belum memiliki nilai ekonomis Tingginya produksi limbah industri terjadi akibat
perkembangan industrialisasi.
Perkembangan industri di Indonesia saat ini
menunjukkan terjadinya kemajuan pesat dibidang ekonomi. Perkembangan ini tidak
hanya terjadi di skala industri besar tetapi juga terus merambah sampai di
tingkat industri kecil seperti industri rumah tangga (home industry).
Dampak yang ditimbulkan pun beragam mulai dari dampak positif seperti
peningkatan pendapatan keluarga dan penyerapan tenaga kerja, serta dampak negative
berupa meningkatnya jumlah limbah. Salah satu limbah industri rumah tangga
bidang pangan yang banyak ditemukan adalah limbah pengolahan tahu. limbah tahu
berkorelasi dengan kebiasaan makan masyarakat Indonesia yang mengandalkan
sumber protein nabati dari kacang-kacangan terutama kedele dan hasil olahnya
seperti tahu dan tempe yang sama-sama menghasilkan limbah pangan.
2. Jenis Limbah Tahu
1) Limbah
Padat
Limbah padat (ampas tahu) merupakan hasil sisa
perasan bubur kedelai. Ampas ini mempunyai sifat cepat basi dan berbau tidak
sedap kalau tidak segera ditangani dengan cepat. Ampas tahu akan mulai menimbulkan
bau yang tidak sedap 12 jam setelah dihasilkan. (Lies Suprapti, 2005). Limbah
padat atau disebut ampas yang dihasilkan belum dirasakan memberikan dampak
negatif terhadap lingkungan karena dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak
sapi, serta dibuat produk makanan yang bermanfaat meskipun masih sangat
terbatas yaitu menjadi tempe gembus. Pemanfaatan menjadi tempe gembus dapat dilakukan
karena limbah tahu termasuk dalam limbah s yang merupakan sumber bahan organik
terutama karbon, dalam bentuk karbohidrat dan bahan berguna lainnya yaitu
protein, lemak, vitamin dan mineral (Kasmidjo, 1991). Ampas tahu masih layak
dijadikan bahan pangan karena masih mengandung protein sekitar 5%. Oleh karena
itu pemanfaatan ampas tahu menjadi produk pangan masih terus dikembangkan,
diantaranya adalah pembuatan kecap ampas tahu yang diperoleh melalui proses fermentasi
ampas tahu. (Pusbangtepa, 1989).
2) Limbah
Cair
Limbah cair tahu adalah limbah yang ditimbulkan
dalam proses pembuatan tahu dan berbentuk cairan. Limbah cair mengandung
padatan tersuspensi maupun terlarut yang akan mengalami perubahan fisika, kimia
dan s yang akan menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya
kuman dimana kuman tersebut dapat berupa kuman penyakit ataupun kuman yang
merugikan baik pada tahu sendiri maupun tubuh manusia. Selain itu, limbah cair
yang berasaldari industri tahu merupakan masalah serius dalam pencemaran lingkungan,
karena menimbulkan bau busuk dan pencemaran sumber air. Limbah cair akan
mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang disungai akan menyebabkan tercemarnya
sungai tersebut. Limbah cair : sisa air tahu yang tidak menggumpal, potongan
tahu yang hancur pada saat proses karena kurang sempurnanya proses
penggumpalan. Limbah cair yang dihasilkan mengandung padatan tersuspensi maupun
terlarut, akan mengalami perubahan fisika, kimia dan . (www.menlh.go.id).
3. Cara memanfaatkan limbah tahu
Kerusakan bahan pangan dan upaya memperpanjang daya
simpan pangan dan produknya dapat dilakukan dengan teknologi pengawetan. Upaya
ini dilakukan ketika suatu bahan pangan diproduksi berlimpah, misal saat panen
raya maupun ketika bahan pangan mudah rusak. Pengawetan juga dapat dilakukan
pada bahan hasil samping produksi suatu pangan seperti bekatul, limbah tahu,
limbah tempe, kulit pisang dan sebagainya. Teknologi pengawetan dibedakan
menjadi: teknologi sederhana (subsistence technology), teknologi
menengah (intermediate technology) dan teknologi maju (advanced
technology) (FG Winarno, 1993). Indonesia telah beratus tahun lalu mengenal
teknologi sederhana di bidang pangan, yaitu: pengasapan, pengeringan dan
penggaraman.
Teknologi pengawetan dapat diterapkan pada tahu dan
limbahnya, yaitu:
1)
Pembekuan, yaitu penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku untuk
mempertahankan kualitas dan memperbaiki penampilan makanan. Suhu pembekuan yang
digunakan adalah -24 sampai -40 derajat celcius.
2)
Pengeringan, yaitu suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian
air dari suatu bahan melalui penggunaan energi panas baik alami (sinar
matahari) maupun buatan (cabinet dryer). Keuntungan pengeringan adalah
bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga
menguntungkan dalam penyimpanan, pengepakan dan tranportasi.
3)
Fermentasi, yaitu teknologi pengolahan menggunakan bantuan bahan lain berupa
mikroorganisme baik jamur maupun bakteri. Pangan hasil fermentasi telah
memiliki sifat yang berbeda dengan bahan asalnya dan hal ini menguntungkan
karena meningkatkan beberapa zat gizi dan zat bermanfaat lain. Di Indonesia,
fermentasi telah lama dilakukan dalam pembuatan tempe, kecap, tauco, ikan
pindang dan tape.
Langganan:
Postingan (Atom)